ALIH
TEKNOLOGI
Teknologi bukanlah sesuatu yang murah. Di
Indonesia sendiri , tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan Iuntuk
memperoleh berbagai teknologi tersebut. Sebagai negara berkembang, yang juga dapat
dikatakan sebagai negara ketiga, menjadi tempat pemasaran berbagai produk
barang terbaru, sehingga hal ini akan menimbulkan ketergantungan kepada negara
lain. Ada 4 alih teknologi beserta contohnya yang akan dijelaskan di bawah ini
:
1. Foreign Direct
Investment
Foreign direct
investment secara singkat dapat diartikan sebagai investasi jangka panjang yang
ditanamkan oleh perusahaan asing di negara ketiga. Investor akan memegang
kendali atas aset dan produksi. Berdasarkan catatan BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) tahun 2014, dominasi sektor asing di Indonesia sebesar 70% di sektor
Migas; 75% di sektor batu bara, nikel, bauksit, dan timah; 85% di sektor
tembaga; dan 50% di sektor sawit. Di Indonesia, terdapat satu perusahan yang
bergerak di bidang pertambangan batu bara yang terletak di Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. PT. Antang Gunung Meratus ini seluas 22.433 ha, yang
terbagi di 4 kabupaten. Namun, berdasarkan hasil keputusan menteri pertambangan
dan energi no 50/28/SJNS/1999, PT AGM hanya mengelola tambang batu abra seluas
1.767 ha, dengan produksi 1,5 juta ton pertahun untuk jangka waktu 8 tahun.
Sejak tahun 2002,
perpanjangan izin PT AGM diperpanjang menjadi 26 tahun. Namun, pada tahun 2011
tingkat kemiskinan di Kalimantan Selatan justru meningkat sebanyak 0,07%
dibandingkan tahun sebelumnya[1]. Ini berarti, adanya PT AGM di
Kalimantan tidak berdampak apa – apa untuk masyarakat dan hanya didominasi oleh
perusahaan asing. Ini merupakan contoh FDI, dilihat dari bagaimana perusahaan
asing berinvesatsi di Indonesia dan mendominasi keuntungan yang didapatkan.
2. Joint Ventures
Joint ventures
merupakan kerjasama yang dengan sengaja dilakukan oleh negara – negara yang
berbeda untuk mendapatkan keuntungan. Kepemilikan pun diperhitungkan
berdasarkan saham yang dimiliki. Sebagai contoh, pada tahun 2013 Garuda Food
Putra Putri Jaya, perusahaan Indonesia memutuskan untuk bekerja sama dengan
Suntory Beverage & Food Limited (SBF). Suntory Beverage & Food
merupakan anak perusahaan dari Suntory Holdings Ltd, sebuah perusahaan asal
Jepang yang bergerak di bidang minuman alkohol, minuman non-alkohol, restoran,
dan pusat kebugaran.
Kedua perusahaan ini
memutuskan untuk bergerak bersama – sama di industri minuman non – alkohol,
dengan invesatsi Suntory sebesar US$120juta. Dengan demikian, Garuda Food
memegang saham sebesar 49%, dan Suntory sebesar 51%[2]. Hal ini termasuk
ke dalam joint ventures, karen merupakan kerjasama antar dua negara. Namun,
meskipun demikian, saham tetap didominasi oleh perusahaan Jepang.
3. Licensing Agreements
Licensing agreements
merupakan izin yang diberikan oleh satu perusahaan ke peprusahaan lain untuk
dapat menggunakan brandnya. Siapa yang tidak kenal minuman kesehatan Yakult? Minuman
ini sangat familiar dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia, karena
minuman kesehatan ini dipercaya mampu menjaga kesehatan usus. Namun, brand
Yakult ini ternyata hasil pembelian lisensi dari produk Yakult yang ada di
perusahaan Yakult Honsa Jepang. Sejak 1990, perusahan Yakult Indonesia membeli
lisensi ini untuk memproduksi atau membuat produk sama persis seperti produk
Yakult yang ada di Jepang[3]. Namun, Licensing Agreements ini tidak
semata – mata diberikan. Perusahaan Yakult Honsa Jepang memiliki standar dalam
memproduksi produknya, yang juga menjadi syarat agar brandnya bisa dipakai di
Indonesia. Apabila Yakult Indonesia tidak memenuhi atau melanggar standar –
standar yang diberlakukan oleh Yakult Honsa Jepang, maka lisensi tersebut akan
dicabut.
4. Turnkey Projects
Turnkey Projects
dapat dikatakan sebagai pembangungan infrastruktur dan konstruksi yang
diperlukan untuk proses produksi di negara ketiga. Dengan kata lain, Indonesia
sebagai negara ketiga akan difasilitasi dalam pembangunan infrastrukturnya,
namun saat selesai seluruh biaya pembangunan ditanggung oleh Indonesia. Di Indonesia,
terdapat 3 transmisi pembangunan jaringan pipa gas, di Riau – Sumatera Utara,
dan Sumatera Selatan – Jawa Barat dengan total dana 1286M dolar AS. Pembangunan
ini dilakukan oleh kontraktor asal Jepang, Japan Bank for International
Cooperation (JBIC). JBIC memberikan modal pada kontraktor lokal untuk membangun
pipa gas. Namun, setelah selesai seluruh pembayaran akan dilakukan oleh
Perusahaan Gas Negara (PGN)[4]. JBIC hanya sebagai pemodal dan
pemegang kunci pelaksanaan konstruksi. Saat selesai, kunci tersebut akan
diserahkan kepada PGN.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar