Kamis, 15 Oktober 2015

ALIH TEKNOLOGI

Teknologi bukanlah sesuatu yang murah. Di Indonesia sendiri , tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan Iuntuk memperoleh berbagai teknologi tersebut. Sebagai negara berkembang, yang juga dapat dikatakan sebagai negara ketiga, menjadi tempat pemasaran berbagai produk barang terbaru, sehingga hal ini akan menimbulkan ketergantungan kepada negara lain. Ada 4 alih teknologi beserta contohnya yang akan dijelaskan di bawah ini :
1.   Foreign Direct Investment
Foreign direct investment secara singkat dapat diartikan sebagai investasi jangka panjang yang ditanamkan oleh perusahaan asing di negara ketiga. Investor akan memegang kendali atas aset dan produksi. Berdasarkan catatan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tahun 2014, dominasi sektor asing di Indonesia sebesar 70% di sektor Migas; 75% di sektor batu bara, nikel, bauksit, dan timah; 85% di sektor tembaga; dan 50% di sektor sawit. Di Indonesia, terdapat satu perusahan yang bergerak di bidang pertambangan batu bara yang terletak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. PT. Antang Gunung Meratus ini seluas 22.433 ha, yang terbagi di 4 kabupaten. Namun, berdasarkan hasil keputusan menteri pertambangan dan energi no 50/28/SJNS/1999, PT AGM hanya mengelola tambang batu abra seluas 1.767 ha, dengan produksi 1,5 juta ton pertahun untuk jangka waktu 8 tahun.
Sejak tahun 2002, perpanjangan izin PT AGM diperpanjang menjadi 26 tahun. Namun, pada tahun 2011 tingkat kemiskinan di Kalimantan Selatan justru meningkat sebanyak 0,07% dibandingkan tahun sebelumnya[1]. Ini berarti, adanya PT AGM di Kalimantan tidak berdampak apa – apa untuk masyarakat dan hanya didominasi oleh perusahaan asing. Ini merupakan contoh FDI, dilihat dari bagaimana perusahaan asing berinvesatsi di Indonesia dan mendominasi keuntungan yang didapatkan.
2.  Joint Ventures
Joint ventures merupakan kerjasama yang dengan sengaja dilakukan oleh negara – negara yang berbeda untuk mendapatkan keuntungan. Kepemilikan pun diperhitungkan berdasarkan saham yang dimiliki. Sebagai contoh, pada tahun 2013 Garuda Food Putra Putri Jaya, perusahaan Indonesia memutuskan untuk bekerja sama dengan Suntory Beverage & Food Limited (SBF). Suntory Beverage & Food merupakan anak perusahaan dari Suntory Holdings Ltd, sebuah perusahaan asal Jepang yang bergerak di bidang minuman alkohol, minuman non-alkohol, restoran, dan pusat kebugaran.
Kedua perusahaan ini memutuskan untuk bergerak bersama – sama di industri minuman non – alkohol, dengan invesatsi Suntory sebesar US$120juta. Dengan demikian, Garuda Food memegang saham sebesar 49%, dan Suntory sebesar 51%[2]. Hal ini termasuk ke dalam joint ventures, karen merupakan kerjasama antar dua negara. Namun, meskipun demikian, saham tetap didominasi oleh perusahaan Jepang.
3.  Licensing Agreements
Licensing agreements merupakan izin yang diberikan oleh satu perusahaan ke peprusahaan lain untuk dapat menggunakan brandnya. Siapa yang tidak kenal minuman kesehatan Yakult? Minuman ini sangat familiar dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia, karena minuman kesehatan ini dipercaya mampu menjaga kesehatan usus. Namun, brand Yakult ini ternyata hasil pembelian lisensi dari produk Yakult yang ada di perusahaan Yakult Honsa Jepang. Sejak 1990, perusahan Yakult Indonesia membeli lisensi ini untuk memproduksi atau membuat produk sama persis seperti produk Yakult yang ada di Jepang[3]. Namun, Licensing Agreements ini tidak semata – mata diberikan. Perusahaan Yakult Honsa Jepang memiliki standar dalam memproduksi produknya, yang juga menjadi syarat agar brandnya bisa dipakai di Indonesia. Apabila Yakult Indonesia tidak memenuhi atau melanggar standar – standar yang diberlakukan oleh Yakult Honsa Jepang, maka lisensi tersebut akan dicabut.
4.  Turnkey Projects
Turnkey Projects dapat dikatakan sebagai pembangungan infrastruktur dan konstruksi yang diperlukan untuk proses produksi di negara ketiga. Dengan kata lain, Indonesia sebagai negara ketiga akan difasilitasi dalam pembangunan infrastrukturnya, namun saat selesai seluruh biaya pembangunan ditanggung oleh Indonesia. Di Indonesia, terdapat 3 transmisi pembangunan jaringan pipa gas, di Riau – Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan – Jawa Barat dengan total dana 1286M dolar AS. Pembangunan ini dilakukan oleh kontraktor asal Jepang, Japan Bank for International Cooperation (JBIC). JBIC memberikan modal pada kontraktor lokal untuk membangun pipa gas. Namun, setelah selesai seluruh pembayaran akan dilakukan oleh Perusahaan Gas Negara (PGN)[4]. JBIC hanya sebagai pemodal dan pemegang kunci pelaksanaan konstruksi. Saat selesai, kunci tersebut akan diserahkan kepada PGN.


Sumber :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar