Di Indonesia
nama-nama tokoh seperti Chairul Tanjung, Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, dan
Aburizal Bakrie, tidaklah asing bagi
kita. Orang-orang tersebut adalah tokoh-tokoh yang sukses dalam menjalankan bisnis medianya. Mereka adalah penguasa
media sekaligus penguasa informasi di Indonesia. Nama-nama mereka pun sering
mondar-mandir dalam peringkat orang-orang terkaya di Indonesia. Bagaimana tidak,
seluruh siaran televisi, radio, maupun surat kabar berada di bawah kepemilikian
mereka. Berikut merupakan daftar pemilik media yang ada di Indonesia[1]:
1.
Hary Tanoesoedibjo (MNC Grup), meliputi RCTI, Global
TV, dan MNC TV (TPI), Koran Sindo, Radio Dangdut TPI, MNC Sport, Trijaya (Sindo
FM), Global Radio, Okezone.com, Sun TV, Indovision, Sindo TV, Majalah Trust,
Majalah High n Teen.
2.
Aburizal Bakrie (VIVA Group), meliputi TVOne, ANTV dan
VIVANews.com, Sport One, BV Sport, viva.co.id, Path.
3.
Eddy Kusnadi Sariaatmaja (Surya Citra Media
(SCM)), meliputi SCTV, Idosiar,
O-Channel, dan Liputan6.com
4.
Surya Paloh (Media Group), meliputi Metro TV, Media
Indonesia, Lampung Pos, Tabloid Prioritas, Borneo News.
5.
Chairul Tanjung (Trans Corp), meliputi Transs TV,
Trans 7, Detik.com
6.
James Riady (Lippo Group), meliputi Berita Satu Media
Holding, bekerjasama dengan First Media dan Sitra wimax menaungi 12 media, a.l
: Berita Satu.com, Jakarta Globe, Investor Daily, Suara Pembaruan, Campus Life.
7.
Jakob Oetama (Kompas Gramedia Group), meliputi Kompas
TV , Kompas Group (koran2 tersebar di berbagai daerah seluruh Indonesia dengan
label Tribun, misal Tribun Pekanbaru), Tabloit Bola, Tabloit Nova, Kompas.com,
Warta Kota.
Konglomerasi
media pun mewarnai dunia media massa di Indonesia. Konglomerasi media merupakan
penggabungan – penggabungan perusahaan menjadi perusahaan yang lebih besar yang
membawahi banyak media. Hal ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan
perusahaan media lain yang dianggap memiliki visi yang sama. Padahal, dalam UU Penyiaran
Indonesia no 32 tahun 2002, dan juga Peraturan Pemerintah no 50 tahun 2005
tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta telah dengan jelas
menuliskan aturan main serta pembatasan kepemilikan media. Dijelaskan bahwa
tidak boleh memonopoli media, dengan kata lain 1 orang atau 1 badan hukum tidak
boleh memilik lebih dari 1 untuk izin penyiaran radio dan maksimal 2 untuk izin
penyelenggaraan siaran televisi,yang berlokasi di provinsi yang berbeda[2].
Kenyataannya? Dapat dilihat sendiri. Satu orang tidak hanya memiliki satu
stasiun TV, tapi juga memiliki surat kabar, majalah, bahkan radio. Sedemikian banyaknya
stasiun TV, Surat Kabar, Majalah, dan Radio yang ada di Indonesia, tapi hanya
sedikit yang memiliki. Kekuasaan yang luar biasa.
Di dunia,
tokoh yang terkenal sebagai kaisar media adalah Rupert Murdoch. Pria kelahiaran Australia ini bahkan menjadi
warga negara Inggris dan Amerika demi memiliki kekuasaan di bidang media. Meskipun
dia bukan politisi, namun kekuasaannya di bidang media hampir tak ada
tandingannya. Dia menguasai kurang lebih 40% media di dunia. Bahkan pada tahun
2005, Murdoch sudah membeli beberapa saham ANTV dan mendirikan beberapa
perusahaan media di Hongkong, China. Ia adalah pemilik News Corporation,
termasuk di dalamnya Fox News, 20th Century Fox, The Wall Street Journal, dan Harper
Collins. Murdoch yang berideologikan profit dan pertumbuhan finansial ini
memasarkan produknya ke berbagai segmen pasar melalui segala jenis media
miliknya (koran, TV, buku, film, majalah, dll). Pelanggaran pun banyak
dilakukan demi keuntungan, seperti penyadapan telepon yang jelas – jelas melanggar
privasi[3].
Lalu,
apakah dampak dari adanya monopoli media ini? Jelas sekali dengan kekuasaan di
bidang media, akan sangat menguntungkan pemiliknya. Bagaimana tidak, pemiliknya
bisa memasukkan pesan apa pun yang diinginkannya untuk kemudian disebarkan ke
masyarakat. Dengan kata lain, pemilik media membentuk opini publik sesuai
keinginannya. Dampaknya? Masyarakat seolah – olah tak punya cara pandang lain
terhadap dunia selain yang disodorkan oleh media. Karena media massa bertugas
untuk menyebarkan informasi, tentu akan sangat mudah untuk membentuk opini
publik sesuai keinginan pemiliknya.
Pemilik
media yang mengutamakan keuntungan akan memperbanyak iklan, dan dengan mudahnya
mengubah fungsi media massa yang mendidik, sehingga banyak muncul tayangan yang
kurang berkualitas. Selain itu, di Indonesia tidak ada larangan bagi pemilik
media untuk terjun ke dunia politik. Lalu, media pun digunakan sebagai sarana
kampanye, kapanpun sang pemilik media mau. Dampaknya? Kembali ke masyarakat. Pemilik
media massa mengatur sedemikian rupa sehingga masyarakat mempercayai settingan
yang diatur oleh para pemilik media massa. Apabila hal ini terus berlanjut, dan
tidak sikap profesional yang ditunjukkan oleh para pemilik media, masyarakat
kita tentunya akan hancur terbuai dalam kebohongan media. Media massa yang
harusnya menjadi sarana informasi, hiburan, mendidik, dan kontrol sosial kini menjadi
salah satu alat untuk menanamkan ideologi pemilik media massa.