Senin, 05 Oktober 2015

KONGLOMERASI MEDIA

Di Indonesia nama-nama tokoh seperti Chairul Tanjung, Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, dan Aburizal Bakrie,  tidaklah asing bagi kita. Orang-orang tersebut  adalah tokoh-tokoh yang sukses dalam menjalankan bisnis medianya. Mereka adalah penguasa media sekaligus penguasa informasi di Indonesia. Nama-nama mereka pun sering mondar-mandir dalam peringkat orang-orang terkaya di Indonesia. Bagaimana tidak, seluruh siaran televisi, radio, maupun surat kabar berada di bawah kepemilikian mereka. Berikut merupakan daftar pemilik media yang ada di Indonesia[1]:
1.   Hary Tanoesoedibjo (MNC Grup), meliputi RCTI, Global TV, dan MNC TV (TPI), Koran Sindo, Radio Dangdut TPI, MNC Sport, Trijaya (Sindo FM), Global Radio, Okezone.com, Sun TV, Indovision, Sindo TV, Majalah Trust, Majalah High n Teen.
2.  Aburizal Bakrie (VIVA Group), meliputi TVOne, ANTV dan VIVANews.com, Sport One, BV Sport, viva.co.id, Path.
3.  Eddy Kusnadi Sariaatmaja (Surya Citra  Media (SCM)), meliputi  SCTV, Idosiar, O-Channel, dan Liputan6.com
4.  Surya Paloh (Media Group), meliputi Metro TV, Media Indonesia, Lampung Pos, Tabloid Prioritas, Borneo News.
5.  Chairul Tanjung (Trans Corp), meliputi Transs TV, Trans 7, Detik.com
6.  James Riady (Lippo Group), meliputi Berita Satu Media Holding, bekerjasama dengan First Media dan Sitra wimax menaungi 12 media, a.l : Berita Satu.com, Jakarta Globe, Investor Daily, Suara Pembaruan, Campus Life.
7.  Jakob Oetama (Kompas Gramedia Group), meliputi Kompas TV , Kompas Group (koran2 tersebar di berbagai daerah seluruh Indonesia dengan label Tribun, misal Tribun Pekanbaru), Tabloit Bola, Tabloit Nova, Kompas.com, Warta Kota. 

Konglomerasi media pun mewarnai dunia media massa di Indonesia. Konglomerasi media merupakan penggabungan – penggabungan perusahaan menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Hal ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap memiliki visi yang sama. Padahal, dalam UU Penyiaran Indonesia no 32 tahun 2002, dan juga Peraturan Pemerintah no 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta telah dengan jelas menuliskan aturan main serta pembatasan kepemilikan media. Dijelaskan bahwa tidak boleh memonopoli media, dengan kata lain 1 orang atau 1 badan hukum tidak boleh memilik lebih dari 1 untuk izin penyiaran radio dan maksimal 2 untuk izin penyelenggaraan siaran televisi,yang berlokasi di provinsi yang berbeda[2]. Kenyataannya? Dapat dilihat sendiri. Satu orang tidak hanya memiliki satu stasiun TV, tapi juga memiliki surat kabar, majalah, bahkan radio. Sedemikian banyaknya stasiun TV, Surat Kabar, Majalah, dan Radio yang ada di Indonesia, tapi hanya sedikit yang memiliki. Kekuasaan yang luar biasa.
Di dunia, tokoh yang terkenal sebagai kaisar media adalah Rupert Murdoch.  Pria kelahiaran Australia ini bahkan menjadi warga negara Inggris dan Amerika demi memiliki kekuasaan di bidang media. Meskipun dia bukan politisi, namun kekuasaannya di bidang media hampir tak ada tandingannya. Dia menguasai kurang lebih 40% media di dunia. Bahkan pada tahun 2005, Murdoch sudah membeli beberapa saham ANTV dan mendirikan beberapa perusahaan media di Hongkong, China. Ia adalah pemilik News Corporation, termasuk di dalamnya Fox News, 20th Century Fox, The Wall Street Journal, dan Harper Collins. Murdoch yang berideologikan profit dan pertumbuhan finansial ini memasarkan produknya ke berbagai segmen pasar melalui segala jenis media miliknya (koran, TV, buku, film, majalah, dll). Pelanggaran pun banyak dilakukan demi keuntungan, seperti penyadapan telepon yang jelas – jelas melanggar privasi[3].
Lalu, apakah dampak dari adanya monopoli media ini? Jelas sekali dengan kekuasaan di bidang media, akan sangat menguntungkan pemiliknya. Bagaimana tidak, pemiliknya bisa memasukkan pesan apa pun yang diinginkannya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Dengan kata lain, pemilik media membentuk opini publik sesuai keinginannya. Dampaknya? Masyarakat seolah – olah tak punya cara pandang lain terhadap dunia selain yang disodorkan oleh media. Karena media massa bertugas untuk menyebarkan informasi, tentu akan sangat mudah untuk membentuk opini publik sesuai keinginan pemiliknya.
Pemilik media yang mengutamakan keuntungan akan memperbanyak iklan, dan dengan mudahnya mengubah fungsi media massa yang mendidik, sehingga banyak muncul tayangan yang kurang berkualitas. Selain itu, di Indonesia tidak ada larangan bagi pemilik media untuk terjun ke dunia politik. Lalu, media pun digunakan sebagai sarana kampanye, kapanpun sang pemilik media mau. Dampaknya? Kembali ke masyarakat. Pemilik media massa mengatur sedemikian rupa sehingga masyarakat mempercayai settingan yang diatur oleh para pemilik media massa. Apabila hal ini terus berlanjut, dan tidak sikap profesional yang ditunjukkan oleh para pemilik media, masyarakat kita tentunya akan hancur terbuai dalam kebohongan media. Media massa yang harusnya menjadi sarana informasi, hiburan, mendidik, dan kontrol sosial kini menjadi salah satu alat untuk menanamkan ideologi pemilik media massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar